From Ledeng to Leiden

“Masih ingat jalan ke Ledeng?”, pertanyaan salah satu Profesor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang ditujukan kepada teman saya. Ya, Profesor itu mendapati teman saya yang tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya untuk bimbingan tesis saat kita bersama-sama mengambil magister di salah satu Universitas di Bumi Siliwangi itu. Pertanyaan itu, walaupun bukan ditujukan untuk saya, namun masih membekas sampai sekarang karena Ia menceritakan kepada kami, teman-teman kelasnnya.

Universitas Pendidikan Indonesia yang masih sering saya dengar beberapa orang berkata “Oh.. IKIP Bandung?”, saat saya mejawab saya kuliah dimana. Universitas di jalan Setiabudhi ini begitu terlihat megah karena bangunan bernama Isola berarsitektur Belanda ditambah Masjid yang juga besar di halamannya, tepat saat tikungan menanjak. Tidak heran wisatawan yang akan berlibur ke Lembang akan otomatis melihat kampus ini walaupun hanya selirik mata.

Saat ini saya sedang menempuh program doktoral di Universitas ini. Bukan tanpa alasan saya memilih Universitas ini lagi untuk menimba ilmu, program studi kedisiplinan ilmu saya memang hanya ada di sini untuk program doktoralnya. Pendidikan Kewarganegaraan program studi yang saya ambil, sama seperti program magister terdahulu. Bila boleh jujur, saat masih di strata-1 di UNJ, saya pun tidak mengenal UPI merupakan salah satu universitas negeri yang berada di Kota Kembang. Ayah saya yang seingat saya mengambil dan membeli formulir pendaftaran untuk saya melanjutkan di tingkat kuliah yang lebih tinggi saat akan mengambil magister.

Mungkin kalian bertanya, apa hubungan UPI dengan Leiden ini yang tercantum dalam judul di atas. Saya bisa katakan bahwa saya mungkin saja tidak akan mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Leiden bila tidak sedang berkuliah di UPI yang berlokasi di Ledeng ini. Bagi yang tidak tahu, ini pengetahuan tambahan, Ledeng juga merupakan nama terminal yang sangat dekat dengan UPI. Terminal Ledeng. Maka dari itu, Profesor tadi guyon menanyakan ke teman saya apakah masih ingat jalan ke Ledeng.

Sebelum sampai cerita bagaimana mahasiswa di Ledeng ini akhirnya mendapatkan kesempatan untuk merasakan hawa dan atmosfer belajar di Leiden, saya akan sedikit cerita tentang background disiplin ilmu saya. Saya ingat sekali begitu senangnya saat saya diterima di Universitas Negeri Jakarta dengan program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaran (PPKn) di sana. Saya memang dari jurusan IPA saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas yang notabene, berarti ini merupakan pilihan campuran saya, dan ini adalah pilihan terakhir. Well, tidak masalah, yang penting saya diterima di universitas negeri. Pikir saya saat itu. Namun, saya mendapati reaksi beberapa lingkungan saya tidak sama seperti yang saya rasakan. Saya MASIH ingat jelas ada guru SMA saya saat itu memberikan advice seperti ini: “kalau bisa, tahun depan coba lagi untuk ambil jurusan lain, paling tidak pendidikan ekonomi”. Saat itu, usia saya yang masih belasan tahun tidak bisa menerima statement itu, saya kecewa.

Bukan hanya itu, salah satu orang terdekat di keluarga saya pun berkata hampir sama. FYI, saya terlahir dari keluarga yang berfikiran bahwa IPA lebih baik, PNS lebih baik, UI dan STAN lebih baik, dst. Maka, tidak heran bahwa tiba-tiba saya diterima di kampus bukan UI atau STAN akan timbul rekasi seperti itu, karena stereotypes tadi. Long story short, saya berhasil menyelesaikan strata-1 saya tepat 4 tahun, dan strata-2 saya tepat 2 tahun, tidak melesat dari jadwal yang seharusnya dalam kalender akademik.

Saya sadar bahwa mata pelajaran PKn di persekolahan tidak terlalu dianggap penting bagi orang tua murid. Kita hadir dalam paradigma bahwa anak yang pintar adalah anak yang pintar dalam Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris. Benar begitu? Jawaban saya kembalikan lagi pada pembaca. Maka juga tidak aneh saat beberapa orang menanyakan kepada saya apa saja yang saya pelajari saat kuliah, toh ini mata pelajaran sudah didapatkan dari SD sampai SMA. Mereka beranggapan, “PPKn kan yang penting tau Pancasila dan pilih serta isi jawaban yang baik-baik, itu tidak sulit”. Mungkin itu benar, mungkin juga itu salah.

Mari kita melompat jauh di massa sekarang! Sempat tadi saya katakan bahwa saya sedang melanjutkan program doktoral dalam program studi PKn di UPI. Mengapa saya bisa sampai ke Leiden? Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mempunyai program Short-Course ke LN bagi pengembangan dosen-dosen di Indonesia. Banyak sekali program yang ditawarkan oleh mereka sesuai bidang masing-masing dosen. Saya membaca group what’s app yang memberikan informasi terkait hal itu. BIDANG SOCIAL HUMANITIES dengan konsentrasi CITIZENSHIP AND GLOBALIZATION. Deg!. “Gue banget nih!”, bergumam dalam hati.

Utrecht, 2016.

Jurusan atau program studi yang banyak orang ‘anggap’ sepele ini, nyatanya dapat membawa saya ke Belanda 2x untuk merasakan kuliah pendek di sana. Ilmu yang saya dapat dari PPKn atau PKn ini yang membuat saya sadar bahwa tidak seharusnya disiplin ilmu apapun dianggap sebelah mata. Tahun 2016 saya merasakan summer school di Utrecht University dengan mengambil program Human Rights and Gender, hal demikian juga menambah nilai saya dalam portofolio saat melakukan seleksi program Short-Course ke Luar Negeri yang dilakukan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Lolosnya saya mendapatkan pergi ke Leiden tentu karena juga pengetahuan saya tentang disiplin ilmu yang saya miliki, yaa Citizenship Education. Bidang yang ditawarkan oleh Kemenristekdikti sangat berhubungan dengan kajian saya. Poin lainnya karena saya sedang menulis disertasi terkait citizenship education and gender, dan itu yang saya ajukan kepada para penyeleksi saat itu. Bahwa, bila saya diikutsertakan dalam keberangkatan short course ini, ilmu yang saya dapatkan di Leiden akan menambah khasanah untuk disiplin ilmu saya lewat penyusunan disertasi ini.

Kartu perspustakaan untuk akses masuk dan tentu akses membaca dan men-download artikel jurnal yang relate dengan penelitian kita yang disediakan oleh Universiteit Leiden

Salah satu dosen saya, Alm. Prof. Nu’man Sumantri pernah berkata kepada saya bahwa: “kita tidak boleh rendah diri dengan disiplin ilmu kita, tunjukkan bahwa kita mampu bersaing dengan yang lain. Harus percaya diri dengan terus meningkatkan knowledges dan skills”. Perjalanan akademik saya masih panjang, disertasi harus segera diselesaikan, rasa puas adalah musuh utama dalam proses belajar. Bismillah. Fin.

Leave a comment